Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Kamis, 27 Agustus 2009

Puasa Meningkatkan Diri dari Beriman Menjadi Bertaqwa, Mengapa?

Judul di atas itu tentu sudah jelas, yakni menyangkut hikmah puasa. Kita
mulai dengan Firman Allah dalam Al Quran, S. Al Baqarah, ayat 185:
-- Ya- ayyuhalladziyna a-manuw kutiba 'alaikumu.shshiya-mu kama- kutiba 'ala
lladziyna min qablikum la'allakum tattaquw0n, artinya: Hai orang-orang
beriman, diwajibkan atasmu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan atas
orang-orang sebelummu, mudah-mudahan kamu bertaqwa.

Jadi jelas dari bunyi ayat tersebut, bahwa puasa itu dapat meningkatkan
orang beriman menjadi bertaqwa. Mengapa? Dari jawaban mengapa ini, akan
jelas apa hikmah yang tersirat di dalamnya. Taqwa adalah bahasa Al Quran,
dibentuk oleh akar kata yang terdiri atas tiga huruf: waw, qaf, ya, yaitu
waqa- atau waqiya, atinya waspada, memelihara diri, menghindarkan diri,
menjaga diri. Orang yang telah mencapai derajat taqwa, adalah yang telah
terpelihara dari segala apa-apa yang menjerumuskan. Ibarat orang yang
berjalan melalui semak belukar yang penuh duri, sampai-sampai kepada
pakaiannyapun terpelihara dari robekan / tusukan duri. Atau ibarat oang yang
menerobos lalu-lintas yang semrawut / crowded, terpelihara dari bahaya
tabrakan. Bertaqwa kepada Allah ialah menjaga diri sehingga terpelihara dari
melanggar larangan Allah SWT, terpelihara dari hambatan untuk melaksanakan
perintah Allah SWT. Bertaqwa (tattaquwn, yattaquwn) adalah fi'il (kata
kerja) melaksanakan seluruh suruhan Allah dan menjauhi segala laranganNya.

Menurut Karl Marx, moral manusia itu ditentukan oleh kondisi perekonomian,
artinya moral manusia itu ditentukan oleh lingkungannya. Manusia sama sekali
tidak berdaya terhadap lingkungannya. Artinya manusia itu adalah budak dari
lingkungannya. Walaupun komunisme telah ambruk seiring dengan bubarnya Uni
Sovyet, namun faham Karl Marx, yang dedengkot komunisme tersebut, masih
banyak dianut orang. Yaitu orang yang masih setia kepada apa yang disebut
dengan wetensdhappelijke socialisme, sosialisme ilmu. Dahulu di Indonesia
ini ada tiga kelompok Marxisme. Yang pertama penganut sosialisme ilmu, yang
berkumpul dalam kekuatan politik Partai Sosialis Indonesia (PSI), kedua
Marxisme-Trozkist berkumpul dalam Partai Murba dan Marxisme-Leninist
berkumpul dalam Partai Komunis Indonesia (PKI).

Menurut Sigmun Freud (diucapkan froid), yang dedengkot psiko-analist,
manusia sama sekali tak berdaya terhadap kekuatan yang ada dalam dirinya
yaitu kekuatan libido berkarakteristik seksual. Semua pikiran dan aktivitas
manusia bersumber dari dorongan kekuatan libido ini. Artinya manusia itu
adalah budak dari libido yang ada dalam dirinya.

Maka jika digabungkan kedua teori itu, teori Karl Marx dan Sigmun Freud,
yang keduanya peranakan Jerman-Yahudi, maka sempurnalah manusia itu menjadi
budak. Ya budak internal dan budak external. Manusia betul-betul menjadi
bulan-bulanan kekuatan libido dan kekuatan lingkungan.

Ajaran Islam tidak mengingkari kedua kekuatan tersebut. Namun dalam ajaran
Islam kekuatan-kekuatan itu bukanlah penentu. Manusia bukanlah budak,
ataupun bulan-bulanan kedua kekuatan internal dan external itu. Pada waktu
Pasukan Islam Madinah pulang dari Perang Uhud yang seru itu, ketika
Rasulullah mengistirahatkan pasukannya dalam perjalanan pulang itu,
Rasulullah bersabda: Kita baru selesai dengan Jihadu lAshgar, perang yang
sangat kecil dan kita segera akan menghadapi Jihadu lAkbar, perang yang
sangat besar. Maka para sahabat bertanya: Ya RasulaLlah, kalau tadi di bukit
Uhud itu hanya perang yang sangat kecil, maka bagaimakanakah besarnya
pasukan yang akan dihadapi itu. Maka Rasulullah menjawab: Jiha-du nNafs,
berjihad melawan diri sendiri. Musuh yang akan dihadapi itu adalah musuh
yang setiap saat menyerang kita yaitu Al Hawa- , Nafsun Amma-rah dalam
tataran nafsani (manusia terdiri atas tiga tataran: jasmani, nafsani,
ruhani).
Dari sabda Rasulullah itu kita dapat menyimak bahwa Allah SWT menjadikan
manusia itu dengan perlengkapan sebuah kekuatan pengendali yang sanggup
dipakai untuk berperang dalam peperangan dahsyat Jihadu lAkbar itu. Kekuatan
pengendali inilah yang tidak dilihat baik oleh Karl Marx, maupun Sigmun
Freud, sehingga mereka berteori bahwa lingkungan dan libido itu menjadi
penentu. Dalam bahasa Al Quran, kekuatan pengendali itu disebut Nafsun
Muthmainnah.

Ibadah puasa sifatnya berbeda dengan ke empat Rukun Islam yang lain. Kalimah
Syahadatain diucapkan dimulut, dibenarkan oleh pikiran dan dimantapkan di
qalbu, sifatnya terbuka, karena diucapkan, orang lain dapat mendengarnya.
Shalat juga sifatnya terbuka, karena teridiri atas gerakan dan ucapan, dapat
dilihat dan didengar. Mengeluarkan zakat, naik haji juga terdiri atas
gerakan dan ucapan sehingga juga sifatnya terbuka. Jadi Rukun Islam pertama,
kedua, ketiga dan kelima dapat saja dikerjakan atas dasar riya, penampilan,
tidak atas dasar iman. Seorang pemuda misalnya untuk dapat menarik hati
calon mertua yang taat, ia akan shalat penampilan, memperlihatkan kepada
calon mertua bahwa ia shalat, jadi bukan atas dasar iman. Seorang jurkam ia
dapat saja shalat untuk menarik massa, bukan atas dasar iman. Seorang naik
haji dapat saja bukan atas dasar iman, melainkan untuk status sosial. Lain
halnya dengan Rukun Islam yang keempat ini, yaitu puasa. Ibadah puasa ini
sifatnya tertutup, tidak dapat ditunjukkan kepada orang lain. Yang dapat
ditunjukkan kepada orang adalah berbuka puasa dan berpura-pura loyo atau
meludah-ludah secara demonstratif. Maka puasa itu hanya dapat dilaksanakan
oleh orang-orang yang beriman, karena yang tahu bahwa ia berpuasa hanya
dirinya sendiri dan Allah SWT.

Karena puasa itu tidak dapat dilaksanakan atas dasar penampilan, maka puasa
itu betul-betul sangat bermanfaat untuk melatih diri meningkatkan keampuhan
tenaga pengendali dalam diri kita. Ibarat mengasah senjata sebulan penuh
sehingga cukup tajam buat dipakai untuk Jiha-du lAkbar.
Mengendalikan, bukan membunuh, sebab Al Hawa- , Nafsun Amma-rah, (dorongan
seksual dan kemarahan) itu berguna untuk kelanjutan spesi manusia,
berkembang biak, dan mempertahankan hidup dari keganasan lingkungan.

Sebulan penuh kita melatih diri meningkatkan keampuhan senjata berupa
kekuatan pengendali itu. Dengan latihan sebulan penuh itu dapatlah senjata
itu dipakai untuk berperang sebelas bulan berikutnya. Hingga tiba kembali ke
dalam bulan Ramadhan yang brukutnya, senjata yang mulai tumpul karena
dipakai berperang selama sebelas bulan, diasah lagi dalama bulan Ramadhan
yang berkutnya. Dengan tajamnya alat yang diberikan oleh Allah SWT maka
terpeliharalah diri kita dari segala apa yang menjerumuskan dan itulah yang
disebut mencapai kedudukan taqwa, insya Allah. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.

Makassar, 8 Maret 1992
[H.Muh Nur Abdurrahman]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar