Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Selasa, 10 Februari 2009

Memanen Sinar Matahari

Kenaikan drastis harga bahan bakar minyak memicu pencarian sumber energi alternatif. Satu sumber energi yang belum termanfaatkan maksimal adalah energi matahari, kecuali oleh tanaman.

Seperti diketahui, energi matahari adalah sumber energi kehidupan utama makhluk di bumi. Jikalau dihitung, jumlah dan intensitas energi matahari melebihi kebutuhan bagi seluruh makhluk di bumi.

Konversi energi matahari menjadi energi listrik telah dikenal luas dengan penggunaan sel-sel surya. Di dalam sistem sel surya, yang meniru prinsip penangkapan foton di klorofil daun, energi matahari ditangkap oleh sistem molekul kimia untuk menggerakkan elektron sehingga akan menghasilkan arus listrik. Tenaga sel surya yang dihasilkan cukup lumayan, bahkan mampu menggerakkan kendaraan.

Namun, konversi energi matahari menjadi panas langsung yang mampu menyalakan tanur untuk peleburan logam tidak pernah dilakukan, kecuali oleh sekelompok peneliti di Israel. Mereka mengembangkan teknologi pemanfaatan energi matahari untuk melebur oksida seng.

Teknologi yang dikembangkan itu terinspirasi oleh kerja suryakanta (kaca pembesar) yang mampu memfokuskan sinar dan menghasilkan panas tinggi. Melalui perancangan sistem suryakanta, ternyata mampu dihasilkan panas yang mencapai suhu 1.200 derajat Celsius. Panas ini dimanfaatkan untuk melebur oksida seng menjadi logam murni. Dan, kemudian seng murni yang dihasilkan dipakai sebagai bahan baku untuk memproduksi hidrogen.

Seperti diketahui bahwa hidrogen adalah bahan bakar untuk kendaraan sel bahan bakar (fuel cell), di mana tenaga penggerak berasal dari reaksi antara hidrogen dan oksigen. Kelebihan dari kendaraan bersel bahan bakar ini adalah tidak mengeluarkan polutan kecuali air.

Metode untuk memproduksi hidrogen dalam skala besar yang ada saat ini masih tergantung pada bahan bakar fosil atau teknologi pemisahan air di mana teknologi tersebut masih mahal. Cara kimia sederhana untuk menghasilkan hidrogen adalah mencampurkan logam seng dengan air. Namun, cara ini belum dapat dipakai secara besar-besaran akibat keterbatasan pasokan logam seng murni.

Keterbatasan yang dimaksud bukan muncul dari kuantitas seng sebagai bahan baku, tetapi pada proses pemisahan bahan tambang untuk mendapatkan seng murni. Metode tradisional untuk mendapatkan seng adalah dengan proses ekstraksi yang melibatkan banyak reaksi kimia termasuk asam, dan elektrolisis yang butuh tenaga listrik.

Produksi hidrogen

Michael Epstein dan timnya dari Institut Sains Weizmann, Rehovot, Israel, menggunakan energi sinar matahari untuk mengekstrak logam seng. Tim Epstein memasang suryakanta raksasa yang terbuat dari susunan 64 keping kaca yang masing-masing keping berukuran 7 meter persegi. Suryakanta ini dipakai untuk memfokuskan cahaya sinar matahari, yang diarahkan ke dalam tanur yang berisi bahan tambang oksida seng dan batu bara.

Berdasarkan hasil riset, sinar matahari yang terfokuskan menghasilkan daya sebesar 300 kilowatt, yang mampu memanaskan tanur sampai suhu 1.200 derajat Celsius. Di dalam tanur yang membara, oksida seng direduksi menjadi logam seng murni dengan laju 50 kg tepung seng per jam.

Seperti diketahui, Timur Tengah memiliki cadangan mineral seng dan intensitas matahari yang sangat tinggi. Oleh karena itu, teknologi tanur sinar matahari akan menghemat ongkos proses peleburan seng.

Logam seng murni kebanyakan dimanfaatkan untuk bahan baku pembuatan batu baterai dan produksi hidrogen. Khusus untuk pembuatan hidrogen, cukup dilakukan dengan cara menuang air ke dalam tepung seng sambil diaduk perlahan. Reaksi campuran kedua pereaksi kimia itu menghasilkan gas hidrogen, yang kemudian dikumpulkan. Sementara itu, tepung seng yang telah teroksidasi dapat didaur ulang di dalam tanur sinar matahari. Jika proses pembuatan hidrogen ini dilakukan berulang-ulang, maka biaya diperlukan hanya untuk penyediaan air karena sinar matahari gratis dan oksida seng hanya dibeli sekali.

Ramah lingkungan

Proses pemurnian seng dalam tanur matahari masih belum bersih lingkungan karena reaksi pembentukan seng memerlukan batu bara yang akan melepas gas karbon monoksida. Selanjutnya, gas buangan ini di udara berubah menjadi karbon dioksida dan akan menyumbang efek rumah kaca.

Namun, perbaikan rancangan sistem suryakanta raksasa masih berlanjut dan masih mungkin untuk memfokuskan sinar matahari untuk melebur benda sampai 1.800 derajat Celsius. Pada kondisi ekstrapanas ini, peleburan seng tidak lagi memerlukan batu bara. Artinya proses tanur matahari menjadi ramah lingkungan. Tanur matahari juga dapat dimanfaatkan untuk melebur logam-logam bernilai ekonomi lainnya, misalnya peleburan besi.

Pembangkit listrik

Teknologi memanen sinar matahari yang ditemukan kelompok Eipstein di atas tampaknya dapat dikembangkan lebih lanjut untuk pembangkit listrik. Seperti diketahui, semua turbin pembangkit listrik prinsip kerjanya mirip dengan kerja dinamo listrik. Untuk memutar baling-baling generator listrik biasanya digunakan aliran uap atau air. Misalnya pada PLTU, panas hasil pembakaran batu bara atau bahan bakar minyak digunakan untuk menguapkan air, dan kemudian uap ini memutar turbin sehingga menghasilkan arus listrik.

Jika turbin diadaptasikan terhadap pembangkit listrik tenaga sinar matahari, maka panas matahari dipakai untuk penyiapan uap. Panas 1.200 derajat Celsius, yang dihasilkan dengan memfokuskan sinar dengan suryakanta raksasa dipakai untuk tungku ”pemanas air”. Lalu, uap yang dihasilkan digunakan untuk menggerakkan baling-baling turbin.

Secara teoretis, sistem pembangkit listrik tenaga sinar matahari tidak sesulit dengan sistem pembangkit listrik yang ada saat ini. Namun, perlu penelitian lebih mendalam mengenai rancangan sistem suryakanta, bahan-bahan menghantar panas, rancangan sistem tungku, dan pencarian lokasi yang ideal untuk memanen sinar matahari.

Pembangkit listrik tenaga sinar matahari kedengarannya seperti ”gagasan konyol”. Namun, jika ada desakan kebutuhan listrik dan ada kemauan, bukan isapan jempol untuk merealisasikan ide yang satu ini.

Seperti kisah sukses Afrika Selatan membuat bensin sintetik. Negeri yang tak memiliki cukup sumber minyak tetapi kaya batu bara, mau membangun pabrik bahan bakar bensin sintetik dari campuran hidrogen dan karbon monoksida melalui proses Fischer-Tropsch di saat harga minyak dunia murah. Kini, negeri itu tersenyum ketika harga minyak mencapai kisaran 70 dollar. Menurut I Nyoman Marsih dari Departemen Kimia ITB, (yang disertasi doktornya di Universitas Sheffield, Inggris, mengenai proses Fischer-Tropsch) pembuatan bensin sintetik baru menguntungkan bila harga minyak 60 dollar.

ZEILY NURACHMAN Guru Biokimia, Kimia ITB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar