Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Senin, 11 Mei 2009

Amal Perbuatan Kontinyu Selalu Memperoleh Ganjaran


Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam adalah seorang hamba Allah yang bila mengerjakan suatu kebaikan beliau teguh pendirian dalam melaksanakannya. Artinya sekali beliau menetapkan untuk mengerjakan kebaikan tertentu, maka kebaikan tersebut akan menjadi suatu kebiasaan yang dikerjakannya terus menerus. Sehingga isteri beliau Aisyah radhiyallahu ’anha berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا عَمِلَ عَمَلًا أَثْبَتَهُ وَكَانَ

إِذَا نَامَ مِنْ اللَّيْلِ أَوْ مَرِضَ صَلَّى مِنْ النَّهَارِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً

“Bila Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam melakukan suatu ‘amal perbuatan, maka beliau teguh pendirian. Dan bila ia tertidur sepanjang malam atau ia sedang sakit, maka ia akan sholat (sunnah) di siang hari dua belas rakaat.” (HR Muslim 1235)

Jadi, teladan kita Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam telah memberi contoh betapa beliau sangat peduli untuk kontinyu dalam ber’amal. Beliau tidak mengenal kebiasaan ber’amal musiman. Sekali bertekad untuk mengerjakan sesuatu maka ia akan terus mengerjakannya. Kalaupun ada halangan untuk mengerjakannya maka ia akan berusaha menggantinya di waktu lain. Contohnya adalah sholat malam. Bila Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam ketiduran atau sakit sehingga tidak sholat malam, maka beliau ”membayar”nya dengan mengerjakan sholat sunnah di siang hari sebanyak duabelas rakaat.

Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bahkan pernah menyatakan bahwa perbuatan yang sedikit asal dikerjakan secara kontinyu terus-menerus lebih disukai Allah daripada perbuatan yang banyak/besar namun karena berat akhirnya hanya dikerjakan seseorang secara musiman saja. Ketika musimnya sedang semangat ia akan mengerjakannya. Namun ketika musimnya sedang lesu, maka ia akan tinggalkan perbuatan tersebut. Bersabda Nabi shollallahu ’alaih wa sallam:

اكْلَفُوا مِنْ الْعَمَلِ مَا تُطِيقُونَ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يَمَلُّ حَتَّى

تَمَلُّوا وَإِنَّ أَحَبَّ الْعَمَلِ إِلَى اللَّهِ أَدْوَمُهُ وَإِنْ قَلَّ

“Lakukanlah amal sesuai kesanggupan. Karena sesungguhnya Allah tidak akan bosan sehingga engkau menjadi bosan. Dan sesungguhnya amal yang paling Allah sukai ialah yang terus-menerus dikerjakan walaupun sedikit.” (HR Abu Dawud 1161)

Sahabat Abdullah bin Amr bin Ash pernah ditegur Nabi shollallahu ’alaih wa sallam karena ia ketahuan pernah sholat malam namun kemudian semangatnya sempat memudar. Maka Nabi shollallahu ’alaih wa sallam langsung bersabda kepadanya:

يَا عَبْدَ اللَّهِ لَا تَكُنْ مِثْلَ فُلَانٍ كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ

“Wahai Abdullah, janganlah kamu seperti si Fulan. Dulu ia (rajin) sholat malam, kemudian ia tinggalkan sholat malam.” (HR Bukhary 1084)

Saudaraku, marilah kita menjadi seperti para pendahulu kita. Bila sudah memilih suatu ’amal sholeh atau ’amal ibadah sunnah untuk dikerjakan, mereka bertekad untuk mengerjakannya secara kontinyu, tidak angin-anginan. Oleh sebab itu, janganlah kita ambisius dalam memilih suatu amal kebaikan. Mulailah dari yang ringan dan pasti sanggup kita kerjakan. Lalu pastikan bahwa setiap hari kita kerjakan. Jangan lupa minta kepada Allah agar hati kita diteguhkan dalam melaksanakannya.

“Ya Allah yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku dalam agamaMu.” (HR Tirmidzi 2066)

Jika kita pilih untuk setiap pagi mengeluarkan infaq rutin walau ”hanya” seribu rupiah, maka kerjakanlah. Jika kita pilih untuk mengerjakan sholat dhuha, maka biasakanlah setiap hari mengerjakannya. Jika kita pilih untuk membaca Al-Qur’an setiap hari setengah juz, maka kerjakanlah ia sebaik mungkin. Jika kita pilih untuk sholat malam sepekan tiga kali, maka usahakanlah untuk kontinyu mengerjakannya. Lebih baik lagi jika ditekadkan agar pada akhirnya sanggup mengerjakan sholat tahajjud setiap malam.

Ada hal yang menarik dari ajaran Allah Al-Islam ini. Dalam sebuah hadits Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam memberi kita kabar gembira. Terutama bagi orang-orang beriman yang sudah memiliki ’amal perbuatan rutin yang biasa dikerjakan dengan tekun secara kontinyu. Hadits ini menyatakan bahwa orang yang sakit atau sedang dalam perjalanan alias safar, maka segenap kebiasaan rutinnya akan tetap dicatat sebagai ganjaran/pahala di sisi Alah walaupun ia sebenarnya tidak mengerjakannya. Seperti kita ketahui bahwa penyakit seringkali menghalangi kita dari berbuat optimal sebagaimana saat kita sedang sehat wal ’afiat. Begitu pula dengan orang yang sedang dalam perjalanan. Tabiat safar seringkali menghalangi seseorang dari sanggup mengerjakan perbuatan rutin yang biasa ia kerjakan saat sedang mukim di satu tempat tidak sedang safar.

إِذَا مَرِضَ الْعَبْدُ أَوْ سَافَرَ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ مَا كَانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

“Jika seorang hamba sakit atau sedang safar (bepergian), maka dicatat untuknya ‘amal perbuatan yang biasa ia kerjakan seperti di waktu ia sehat dan tidak sedang bepergian.” (HR Bukhary 2774)

Saudaraku, hal istimewa ini hanya berlaku bagi mereka yang memang sudah memiliki kebiasaan ber’amal sholeh atau ‘amal ibadah sunnah yang sudah kontinyu dikerjakan. Oleh karenanya, saudaraku, mumpung umur masih ada, marilah kita mulai membiasakan ‘amal yang baik secara kontinyu, walaupun kecil.

Ya Allah, teguhkanlah hati kami dalam meniti ketaatan di jalanMu. Amin.



Lepaskan Diri dari Cinta Dunia

"Akan datang masa di mana kamu diperebutkan oleh bangsa-bangsa lain sebagaimana orang-orang berebut melahap isi mangkuk." Para sahabat bertanya, "Apakah saat itu jumlah kami sedikit ya Rasulallah?" Rasulullah bersabda, "Tidak, bahkan saat itu jumlahmu sangat banyak, tetapi seperti buih di lautan karena kamu tertimpa penyakit `wahn`." Sahabat bertanya, "Apakah penyakit `wahn` itu ya Rasulallah?" Beliau menjawab, "Penyakit `wahn` itu adalah terlalu cinta dunia dan takut mati."

Rasulullah yang mulia adalah contoh seorang pemimpin yang sangat dicintai umatnya; seorang suami yang menjadi kebanggaan keluarganya; pengusaha yang dititipi dunia tapi tak diperbudak oleh dunia karena beliau adalah orang yang sangat terpelihara hatinya dari silaunya dunia. Tidak ada cinta terhadap dunia kecuali cinta terhadap Allah. Kalaupun ada cinta pada dunia, hakikatnya itu adalah cinta karena Allah. Inilah salah satu rahasia sukses Rasulullah.

Apa yang dimaksud dengan dunia? Firman-Nya, "Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan... Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu." (Q.S. Al-Hadiid [57]:20)

Dunia adalah segala sesuatu yang membuat kita lalai kepada Allah. Misalnya, salat, saum atau sedekah, tetap dikatakan urusan dunia jika niatnya ingin dipuji makhluk hingga hati lalai terhadap Allah.

Sebaliknya, orang yang sibuk siang malam mencari uang untuk didistribusikan kepada yang memerlukan atau untuk kemaslahatan umat -- bukan untuk kepentingan pribadi -- bukan untuk kepentingan pribadi terhadap Allah, walau aktivitasnya seolah duniawi. Artinya, segala sesuatu yang membuat kita taat kepada Allah, maka hal itu bukanlah urusan dunia.

Bagaimana ciri orang yang cinta dunia? Jika seseorang mencintai sesuatu, maka dia akan diperbudak oleh apa yang dicintainya. Jika orang sudah cinta dunia, maka akan datang berbagai penyakit hati. Ada yang menjadi sombong, dengki, serakah atau capek memikirkan yang tak ada. Makin cinta pada dunia, makin serakah. Bahkan, bisa berbuat keji untuk mendapatkan dunia yang diinginkannya. Pikirannya selalu dunia, pontang-panting siang malam mengejar dunia untuk kepentingan dirinya.

Ciri lainnya adalah takut kehilangan. Seperti orang yang bersandar ke kursi, maka akan takut sandarannya diambil. Orang yang bersandar ke pangkat atau kedudukan, maka ia akan takut pangkat atau kedudukannya diambil. Oleh sebab itu, pencinta dunia itu tidak pernah merasa bahagia.

Rasulullah yang mulia, walau dunia lekat dan mudah baginya, tetapi semua itu tidak pernah sampai mencuri hatinya. Misalnya, saat pakaian dan kuda terbaiknya ada yang meminta, beliau memberikannya dengan ringan. Beliau juga pernah menyedekahkan kambing satu lembah. Inilah yang membuat beliau tak pernah terpikir untuk berbuat aniaya.

Semua yang ada di langit dan di bumi titipan Allah semata. Kita tidak mempunyai apa-apa. Hidup di dunia hanya mampir sebentar saja. Terlahir sebagai bayi, membesar sebentar, semakin tua, dan akhirnya mati. Kemudian terlahir manusia berikutnya, begitu seterusnya.

Bagi orang-orang yang telah sampai pada keyakinan bahwa semuanya titipan Allah dan total milik-Nya, ia tidak akan pernah sombong, minder, iri ataupun dengki. Sebaliknya, ia akan selalu siap titipannya diambil oleh Pemiliknya, karena segala sesuatu dalam kehidupan dunia ini tidak ada artinya. Harta, gelar, pangkat, jabatan, dan popularitas tidak akan ada artinya jika tidak digunakan di jalan Allah. Hal yang berarti dalam hidup ini hanyalah amal-amal kita. Oleh sebab itu, jangan pernah keberadaan atau tiadanya "dunia" ini meracuni hati kita. Jika memiliki harta dunia, jangan sampai sombong, dan jika tidak adanya pun, tidak perlu minder.

Kita harus meyakini bahwa siapa pun yang tidak pernah berusaha melepaskan dirinya dari kecintaan terhadap dunia, maka akan sengsara hidupnya. Mengapa? Sumber segala fitnah dan kesalahan adalah ketika seseorang begitu mencintai dunia. Semoga Allah mengaruniakan pada kita nikmatnya hidup yang tak terbelenggu oleh dunia. Wallahu a`lam.

AA Gym

Berjuang Mengemban Amanah

Berjuang Mengemban Amanah
"Hai orang-orang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad saw.) dan janganlah kalian mengingkari amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu sedang kalian mengetahui" (Q.S. Al-Anfaal [8]:27).

Kita semua akan sangat kagum dan terharu mendengar kisah bagaimana seorang nakhoda kapal yang sedang tenggelam berupaya sekuat tenaga menyelamatkan para penumpangnya dan dia tidak mau meninggalkan kapal itu sebelum seluruh penumpangnya selamat.

Kita pun akan terkesan mengenang perjuangan seorang ibu yang anaknya bandel hingga harus dipenjara. Namun, dia tetap berjuang agar sang anak tak putus asa. Dia terus membangun harapan bahwa hari esok, semua akan menjadi lebih baik. Perbuatan buruk sang anak tentu sangat mencoreng kehormatan orang tuanya. Akan tetapi, semua itu dipikul dengan sabar sebagai bentuk tanggung jawab orang tua. Seburuk apa pun kelakuan anak, mau tidak mau dia tetap darah dagingnya sendiri yang wajib dicucuri kasih sayang. Atau, boleh jadi kenakalan anak itu bermula justru dari kelalaiannya sendiri dalam mendidik anak-anaknya.

Banyak kisah yang membuat kita berdecak kagum yang bertutur tentang pengorbanan seseorang yang bertanggung jawab, walaupun untuk itu dia harus mempertaruhkan nyawa yang hanya satu-satunya yang ia miliki. Pada saat yang sama, kita pun akan sama-sama merasa mual dan dongkol ketika mendengar orang-orang yang tak bertanggung jawab. Begitu rendah dan menjijikkannya sikap tidak bertanggung jawab itu. Seorang laki-laki secara tak bertanggung jawab merusak kegadisan wanita. Seorang suami berselingkuh dan menyia-nyiakan anak istrinya. Seorang ibu menelantarkan bahkan membunuh bayi yang dilahirkan dari rahimnya sendiri. Seorang prajurit secara pengecut meninggalkan medan tempur.

Pemimpin jahat tidak bertanggung jawab atas rakyatnya. Dia bermegah-megah dan berleha-leha ketika rakyatnya mengerang kelaparan. Seorang guru tak bertanggung jawab, mengabaikan tugas-nya mendidik generasi muda. Seorang pedagang licik mencampur barang baik dengan barang buruk semata hanya karena ingin meraup keuntungan setinggi-tingginya. Termasuk yang tak kalah hina-dinanya adalah, seorang anak yang tak bertanggung jawab kepada kedua orang tua yang telah bersusah payah membesarkannya dari kecil.

Kita harus mengevaluasi diri, sampai sejauh mana kesadaran kita memikul amanah yang diembankan di pundak kita. Sejauh mana kita telah gigih mempertanggungjawabkan semua itu? Banyak tanggung jawab yang sebenarnya harus kita tunaikan. Sebagai manusia, kita perlu bertanya, apakah kita berperilaku dan bermartabat layaknya manusia, atau kita justru berjasad manusia namun berperilaku hewan? Sepanjang hari hanya sibuk memuaskan nafsu syahwat, keserakahan, kebuasan, kelicikan dan aneka perilaku lain layaknya tingkah binatang.

Sebagai Muslim kita wajib bertanya, apakah kita benar-benar menjaga kehormatan selaku seorang Islam, ataukah perilaku kita malah mencoreng kemuliaan Islam? Sebagai orang tua, kita perlu meraba hati, jangan-jangan selama ini kita tidak serius mendidik dan memberi suri teladan sehingga mereka tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang berakhlak buruk. Bisa jadi kitalah yang menjerumuskan anak-anak itu, bukan perilaku mereka sendiri.

Sebagai warga masyarakat, kita perlu merenung kembali, jangan-jangan kita ini termasuk "sampah masyarakat." Jangan menganggap sampah masyarakat itu orang miskin. Orang kaya, bergelar, berkedudukan, berkuasa, namun kalau kelakuannya buruk, angkuh, sok pamer dan tidak bermanfaat sedikit pun, dia bisa juga disebut sampah masyarakat! Orang berada yang tak peduli kepada orang miskin dan justru mengeksploitasi keringat orang miskin, maka dialah sampah masyarakat yang paling busuk.

Di atas hanyalah sebagian contoh dari tanggung jawab yang bisa kita renungkan. Masih banyak aneka tanggung jawab lain yang mesti kita pikul dalam kehidupan sehari-hari. Maka mulailah kita bangun akhlak kita dengan bertanggung jawab terhadap amanah-amanah, sekalipun kecil nilainya.

Rawatlah tanggung jawab penampilan kita. Bersikaplah manis, jangan sampai wajah kita tidak terkendali, selalu cemberut dan merusak kehangatan suasana. Bertanggung jawablah terhadap kata-kata yang kita keluarkan. Jangan bicara kecuali yang benar dan manfaat.

Bertanggung jawablah terhadap kebersihan lingkungan. Jangan sekali-kali membuang sampah sembarangan. Mungkin kita bersih, tapi orang lain jadi terkotori. Membuang sampah sembarangan bisa dikatakan sebagai salah satu perilaku yang tidak bertanggung jawab.

Bertanggungjawablah selama di perjalanan. Jangan menyerobot, tak mau antre, dan selalu berbuat bising di jalan. Nikmati hidup tertib sebagai cerminan sikap tanggungjawab kita. Bertanggung jawablah atas keamanan. Jangan sampai merugikan dan mencelakakan orang lain. Aturlah sikap dan perilaku kita sehingga orang lain merasa aman dan nyaman dengan tingkah laku kita.

Bertanggung jawablah dalam hal keuangan. Pastikan tidak ada hak orang lain yang ada pada diri kita yang terambil secara yang tidak halal. Hindari perilaku mark up, suap-menyuap, korupsi, mengambil kembalian tanpa permisi, melalaikan utang dan perilaku-perilaku curang lain. Pastikan tidak ada harta haram pada diri kita. Dengan perilaku ini, insya Allah, kita akan sangat bahagia, terhormat, dan akan dicukupi rezeki oleh Allah SWT.

Bertanggungjawablah bila diberi amanah kedudukan dan kekuasaan dengan berjuang serius memajukan kesejahteraan lahir batin seluruh karyawan, memajukan perusahaan dan menguntungkan semua pihak. Dan jangan sekali-kali secara curang mengorbankan amanah untuk kepentingan diri pribadi. Itu adalah ciri khas orang curang yang akan gagal kariernya.

Dan bertanggung jawablah bila kita melakukan kesalahan. Seberat apa pun hukuman dunia yang harus dipikul karena kesalahan itu, masihlah lebih ringan dibandingkan hukuman berupa siksa Allah yang perihnya tiada terlukiskan oleh gambaran apa pun. Yakinlah, manusia pada umumnya akan memaafkan bahkan simpati kepada orang yang pernah berbuat salah, lalu sadar, bertobat dan berusaha mempertanggungjawabkan kesalahannya. Mungkin saja tubuhnya menghadapi hukuman, namun Allah dengan kemurahan-Nya akan mengampuni dan memulihkan nama baiknya di dunia ini maupun di akhirat kelak. Wallahu a`lam.***

oleh: aa Gym



Iman Dan Tujuan Hidup Seorang Mukmin

خصلتان لا شيء افضل منهما الايمان بالله و النفع للمسلمين.

“Dua yang paling utama: iman kepada Allah dan berguna bagi kaum muslimin. Dua yang paling buruk: menyekutukan Allah dan membahayakan kaum muslimin.” (Rasulullah Saw)

Iman kepada Allah dan mentauhidkan-Nya merupakan esensi Islam dan landasan bagi totalitas kehidupan manusia. Ia adalah pengakuan dan penyaksian akan keesaan Allah Swt sebagai prinsip tertinggi dari seluruh ciptaan, semua wujud, dan kehidupan.

Dengan iman dan tauhid tata kehidupan dibersihkan dari berbagai jenis keraguan yang menyangkut trandensi Tuhan dan keesaan-Nya; yang menyangkut tujuan hidup dan identitas peradaban; dan yang menyangkut seluruh nilai-nilai kehidupan.

Tingkat dan ketinggian keimanan dan ketauhidan seseorang tergantung kepada tingkat ma'rifat, keyakinan, dan kesaksiannya bahwa "tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya".

Refleksi otentiknya wujud dalam penghambaan yang tulus hanya kepada Allah dan kecintaan kepada-Nya yang melebihi kecintaannya kepada siapapun selain-Nya. Dalam diri hamba-Nya yang sejati bertahta kultur spiritual-ideologis yang memberikan panduan bagi amal shalih, amal yang dimotivasi oleh kesadaran penghambaan yang tulus yang ditujukan semata-mata kepada Allah demi meraih ridha-Nya dan dilakukan dengan benar sesuai dengan hukum-hukum Allah yang tertuang dalam wahyu dan sunnatullah.

Terbebas dari rasa takut dan gundah adalah implikasi psikologis beriman dan beramal shalih. "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati." (QS, al-Baqarah [2]: 277).

Sedangkan implikasi sosialnya adalah kehidupan yang baik yang kebaikannya dapat menembus segala dimensi, ruang, dan waktu. "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS, al-Nahl [16]: 97)

Sedangkan syirik (menyekutukan Allah) dan segala derifasinya merupakan refleksi dari kekacauan paradigma dan persepsi tentang Tuhan dan alam. Kekacauan persepsi tentang dua realitas yang sama sekali mutlak berbeda dalam wujud atau eksistensinya: Tuhan dan bukan Tuhan, Khalik dan makhluk.

Syirik suatu konsep yang coba menyatukan atau menyamakan, memasukan, dan bahkan mengacaukan dua realitas yang mutlak berbeda itu. Maka secara obyektif syirik diartikan menuhankan sesuatu yang bukan Allah, dan secara subyektif diartikan memberikan kekuasaan-kekuasaan (otoritas) dan kualitas-kualitas setengah tuhan kepada benda, para pendeta, atau para pemimpin sekuler untuk mengatur segala urusan.

Dalam Islam, pengetahuan dan tindakan syirik diyakini sebagai bentuk kezhaliman terbesar yang implikasi buruknya sangat luas. Secara psikologis syirik hanya membiakkan kebimbangan, kegelisahan, dan tragedi kemanusiaan.

"Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka ialah neraka; dan itulah seburuk-buruk tempat tinggal orang-orang yang zalim." (QS, Ali 'Imran [3]: 151).

Oleh sebab itu Imam Ghazali memandang syirik sebagai penyakit hati yang paling buruk. Implikasinya sangat serius bagi kehidupan manusia itu sendiri, baik kehidupan di dunia sekarang ini lebih-lebih bagi kehidupan di akhiratnya nanti. "Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) karena sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (QS, Luqman [31]: 13).

Sedangkan kezhaliman itu adalah kegelapan yang akan meneggelamkan seluruh tatanan yang berakibat membiaknya kerusakan, anarkhisme, dan kekacauan.

Sepanjang sejarah manusia kezhaliman terbukti menyeret seluruh kehidupan manusia ke dalam lorong-lorong kegelapan yang mengerikan. Fitnah dan kesengsaraan yang ditimbulkannya tidak hanya menimpa pelaku kezhaliman melainkan juga orang-orang yang tidak melakukannya.

"Dan peliharalah dirimu daripada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya." (QS, al-Anfal [8]: 25). Maka "Jauhilah syirik karena syirik itu kegelapan yang berlapis-lapis di hari Kiamat." (HR, Bukahri).

oleh Ustadz Abu Ridha
eramuslim.com

Apakah KitaTelah Jadi Pengikut Iblis?

Dahulu, ketika saya masih di pesantren, beberapa orang teman saya begitu mendapat tempat di hati para ustadz dan ustadzah. Walau ia tidak begitu pintar, gagah, cantik, berprestasi, dan luas pengetahuan tapi hal itu tidak mengurangi perhatian yang diberikan para ustadz dan ustadzah padanya.

Ada juga diantara teman-teman yang sering dimarahi dan terkesan agak dipersulit urusannya kalau ia minta izin, misalnya. Dan tidak mendapatkan peran penting dalam acara atau kepengurusan di organisasi. Mungkin sebagian kita yang pernah sekolah di pesantren pernah mengalami perlakuan itu.

Apa penyebabnya?
Saya perhatikan, diantara faktor mereka disayangi adalah, karena mereka selalu menjalankan disiplin yang ada. Mereka menghargai dan menghormati peraturan tersebut. Mereka sangat jarang melanggar. Sehingga nama mereka jarang terpanggil masuk mahkamah (pengadilan santri) dan dilaporkan pada ustadz. Walau mereka tidak begitu berprestasi dan tidak begitu pintar, namun mereka tetap mendapatkan tempat terhormat.

Adapun yang sering melanggar; sering terlambat kemesjid, cabut, merokok dan berhubungan dengan lawan jenis. Mereka dicap sebagai santri yang tidak patuh. Dan bahkan karena seringnya pelanggaran itu dilakukan, mereka dianggap pembangkang. Walau dari mereka ada yang pintar, ganteng, cantik, berprestasi dan luas pengetahuan.

Semua santri/wati tahu akan peraturan. Tahu bahwa terlambat kemesjid akan dihukum. Tahu kalau sering berbahasa daerah akan masuk mahkamah, tahu kalau merokok itu dilarang dan tahu kalau berhubungan dengan lawan jenis tidak dibolehkan.
Namun tetap masih ada yang melanggar. Satu kali, barangkali bisa dimaklumi karena belum terbiasa dengan peraturan atau tidak tahu, atau khilaf, dan lain sebagainya. Tapi kalau pelanggaran sering dilakukan seakan ada unsur kesengajaan dan mengabaikan peraturan itu.

Banyak dari kita (muslim) yang mengetahui bahwa shalat berjamaah di mesjid lebih afdhal dari shalat di rumah, membaca al-Quran berbuah pahala, berziarah melapangkan rezki, berpuasa, bermujahadah dalam menuntut ilmu, berdakwah dan shalat pada waktu malam mendapat pahala, dan berbuat kebaikan lainnya, namun berapa orangkah yang rajin mengamalkannya?

Dan banyak juga dari kita yang mengetahui bahwa melihat yang haram itu dilarang, mendengar yang haram itu dilarang, berbohong, berburuk sangka, mengghibah, mencuri dan menghina sesama muslim, berpacaran, tidak dibolehkan dalam agama, dan berbuat dosa dan maksiat lainnya, namun kenapa masih banyak yang melakukannya?

Sangat disayangkan yang melakukan itu mereka yang punya pengetahuan dan menyandang gelar pelajar agama. Kenapa ada yang patuh pada perintah Allah SWT dan kenapa ada yang melanggar sedang mereka mengetahui ?

Iblis telah diusir dari rahmat Allah SWT. Ia menjadi makhluk terkutuk dan kelak akan menjadi penghuni tetap di neraka. Iblis mengetahui akan kekuasaan Allah, bahwa Allah adalah Pencipta dan Maha Kuasa atas segala sesuatu dan kalau membangkang perintah Allah ia akan dihukum. Tapi rasa sombong yang menguasasi hatinya membuatnya enggan melaksanakan perintah Allah untuk sujud pada nabi Adam As. Tidak ada gunanya bagi iblis ilmunya tentang Allah, dan karena ketidakpatuhan pada Allah membuatnya terlaknat.

Karenanya dikatakan, celaka dan merugilah orang yang berilmu sampai ia mengamalkan ilmunya.

Orang yang tidak patuh pada kebenaran secara tidak langsung telah menjadi pengikut iblis. Ia telah dikuasai oleh hawa nafsunya. Sehingga ia menolak untuk tunduk pada kebenaran. Kebenaran baginya adalah 'ma qâlathu an-nafsu (segala apa yang dikatakan hawa nafsu). Dan ketika suatu hal tidak sesuai dengan kehendak nafsunya ia akan enggan dan berat untuk mengikuti.

Mereka yang sering melanggar perintah Allah SWT, di dunia mereka akan hidup dalam kesempitan, tidak pernah merasa tenang, selalu dalam kesulitan dan kelak di akhirat mereka akan dijauhkan dari rahmat Allah, akan dipersulit hisabnya, dan tidak ada tempat bagi manusia pelanggar kecuali neraka.

Sedangkan mereka yang selalu patuh, walau itu terasa berat bagi mereka, tapi mereka tetap sabar dan istiqamah. Kelak mereka akan mendapat tempat terhormat dan dimuliakan disisi Allah, dipermudah hisab mereka dan didekatkan pada Allah SWT, karena kepatuhan dan ketaatan mereka pada Allah.

Ilmu yang sesungguhnya, adalah yang membuat seseorang semakin mengenal Allah, dekat pada-Nya, patuh pada perintah-Nya dan takut untuk bermaksiat pada-Nya.

Ketika ia tahu bahwa shalat berjamaah di mesjid lebih utama, iapun dengan penuh semangat mengerjakannya. Ketika ia tahu bahwa berhubungan dengan lawan jenis (pacaran) dilarang, iapun dengan penuh semangat meninggalkannya. Dan ketika ia tahu berzina itu perbuatan yang haram, ia pun menjauhinya, dan lain sebagainya.

Adapun bila ilmu yang dimiliki, walau ia nya seluas samudera, tapi kalau tidak diamalkan dan orang tersebut tidak takut pada Allah, tidak patuh pada perintah-Nya, maka orang tersebut belumlah bisa dikatakan berilmu yang sebenarnya, dan bahkan ilmunya yang banyak tersebut akan bisa membuatnya celaka di akhirat kelak.

Kecerdasan intelektual dan luasnya ilmu yang dimiliki belumlah cukup membuat seseorang menjadi mulia di sisi Allah, tapi kecerdasan spiritual dan emosinal (al-malakatu `ala an-nafs) yang lebih banyak menentukan kesuksesan seseorang dalam hidup. Anda mengetahui kebaikan (intelektual ), anda punya dorongan untuk melakukan (emosional ), anda kerjakan dengan sungguh-sungguh dan anda tujukan semuanya untuk meraih ridha Allah (spiritual ), begitulah yang semestinya.

Mari kita bertanya dengan penuh jujur pada diri kita masing-masing. Apakah selama ini kita merasa begitu berat dan enggan untuk patuh pada kebenaran? Bila ternyata itu benar, maka segeralah berbenah diri sebelum terlambat.
Semoga bisa menjadi renungan.

Salam dari Kairo,
marif_assalman@yahoo.com
Lagi ujian, mohon doa dari semua, moga sukses, terima kasih.